Fenomena ini justru menarik dikaji dalam momentum peringatan hari pendidikan nasional (2 Mei 2011) Tulisan ini mendiskusikan isu mutu pendidikan nasional dan solusi permasalahannya.
Masih ada trauma bangsa mengingat Laporan Human Development Index (HDI, 2003) yang menyebut mutu pendidikan Indonesia pada urutan ke-112 (0,682) dari 175 negara, lebih rendah dari posisi Singapura di urut ke-28 (0,888), Brunei Darussalam ke-31 (0,872), Malaysia ke-58 (0,790), Thailand ke-74 (0,768), dan Filipina ke-85 (0,751).
Sudahlah dan cukup, itu laporan HDI dulu. Jadikan saja pengalaman lama. Yang penting sekarang, kita tumbuhkan spirit baru. Harapan fajar menyingsing, mudah-mudahan terang pelaksanaan “standar nasional pendidikan” seperti yang diamanatkan PP Nomor 19 Tahun 2005 berjalan sebagai jawaban mengangkat mutu pendidikan nasional. Juga diperkuat dengan pelaksanaan “8 standar nasional mutu” (yakni standar kepentensi lulusan, isi, pendidik dan tenaga kependidikan, proses, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan pernilaian pendidikan). Dengan standar nasional mutu ini bangsa berharap dapat membawa berkah memperkuat dan memastikan arah pendidikan nasional yang karakter yakni “berwatak dan berperadaban bangsa Indonesia beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia” dst, seperti yang digariskan tujuan pendidikan dasional dalam UU 20/ 2033.
Tegasnya, pendidikan tidak berhenti pada “proses pemerdekaan individu”, dan tidak pula seperti pernyataan lama “memanusiakan manusia” (miring) seperti juga diulang Cameron (Padek 30/4), sebab peserta didik sejak lahir sudah manusia malah sudah dibekali fitrah yang intinya sudah bertauhid (godspot istilah Ary Ginanjar, menyebut manusia itu sudah punya otak bagai raksasa tidur). Hanya saja yang benar belum menjadi “manusia sempurna” (insan kamil) atau belum menjadi “orang Indonesia seutuhnya” seperti tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai.
Barat justru gagal karena mementingkan hak manusia semata, seperti juga justru timur gagal karena mementing aspek ketuhanan semata sedangkan aspek manusia hanya tinggal dalam tataran ide. Karena itu tujuan pendidikan nasional jadi menarik yang menggabungkan dimensi manusia (berperadaban bangsa) dan Tuhan (beriman dan bertaqwa) yang dirasakan sangat teo-humanis.
Sebenarnya bentuk tujuan pendidikan teo-humanis ini amat dirindukan dikaitkan dengan fenomena sikap latah dunia melekatkan kata “terorisme” pada Islam, tak harus kepada Islam saja. Fenomena ini disadari atau tidak sebagai proses memarjinalkan umat Islam. Orang Indonesia yang sangat socialized, justru sangat agamis dan dominan penganut Islam pada satu sisi sangat-sangat comited dan gencar memerangi terorisme dan justru paling banyak menjadi korban akibat teroris.
Di Indonesia, tujuan pendidikannya sudah mengarah “berkarakter” yang sangat sufistik dan teo-humanis mirip dengan yang diistilahkan Kuntowijoyo sangat profetik, yakni kombinasi dimensi sosial yang provant (galomor) dengan dimensi transedental/ketuhanan. Karena sudah ada tujuan “peradaban bangsa” (dimensi manusia/ sosial budaya provan), berakhlak mulia dan “beriman bertaqwa” (dimensi ketuhanan/ transedental). Proses pencapaian tujuan itu tergambar dalam pelaksanaan “standar proses” yakni satu dari 8 standar nasional mutu, yang menekankan pada proses pembelajaran interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Betapa tidak, kalau pendidikan berkarakter yang dicanangkan pemerintah ini, cepat terlaksana dengan menumbuhkan brainstorming dalam bidang pendidikan yakni keterdidikan dan kecerdasan intelektual rasional, dialogis, tetapi juga cerdas emosional dan cerdas spiritual. Bahkan dimungkin menjadi safety valve dari terjadinya kekerasan yang disadari atau tidak rentan tumbuhnya sikap keterdidikan yang tidak cerdas bahkan salah arah seperti kelompok pengebom masjid yang jadi gunjing, performance pendidikan cuci otak dan indoktrinasi seperti NII yang lagi heboh, dan sangat monologis yang rentan eksklusivism (bagian dari prinsip brainwashing) dalam bidang pendidikan. Perilaku yang terakhir ini, bila ruang dan kesempatan sempit dan menghambat kepentingannya, berpotensi melakukan tindakan demonstratif atau diam-diam anarkis dan kontraprodukti dikhawatiri menjadi bibit teroris. Karenanya patut bersama-sama mengembangkan pendidikan berkarakter seperti yang tersirat dalam tujuan pendidikan nasional yang berdimensi kemanusian (berwatak dan berperadaban bangsa) dan dimensi ketuhanan (sufistik, profetik atau teo-humanis yang menyalakan energi keimanan dan ketaqwaan membentuk pribadi yang berakhlak mulia).
Bentuk alternatif pelaksanaan pendidikan berkarakter dalam tataran ide mencermati kebijakan pendidikan nasional, adalah praktek pendidikan tidak semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu yang memadukan taksonomi kognitif dan ranah apektif dan psikomotorik.
Apalagi dikaitkan dengan situasi sekarang terutama dalam prinsip ujian (seperti juga UN) terasa penerapan prinsip kejujuran ini penting, di mana pelaksanaan ujian itu sekaligus uji kejujuran, baik bagi peserta didik maupun guru. Betapa susah guru mendidik menerapkan sifat jujur, 9 tahun lamanya dari SMA sejak SD. Saatnya UN, dengan kompetisi diam-diam ada kekuatan maya memaksa guru berbuat tak jujur. Isu, ya isu, ada sebuah kepenting politik bagi kelulusan prima, justru kelulusan itu menjadi kinerja pemda dalam kerangka pertarungan bagi-bagi dan perebutan kue (anggaran dan kekuasaan) pembangunan.
Mau tak mau kelulusan 100 % bagaimana pun caranya harus dicapai. Guru dipaksa dan terpaksan membawakan kunci jawaban, ada ditunjukan langsung dan ada di-SMS-kan. Dampaknya murid tak mandiri, lebih dari itu etos belajar melemah, “belajar tak belajar toh ujian dapat juga”. Sialnya anak yang lemah di kampung terpencil yang dilarang Bupati k membeli buku ajar dari guru lantaran ada dana BOS justru lulus dengan kunci jawaban, sementara anak yang terpintar yang masa belajar kaya buku refensi di metroplitas tak lulus lantaran tidak percaya kunci jawaban.
Di mana lagi martabat guru, tak mungkin lagi lahir guru berkarakter dan disegani murid. Dulu ia mengajar murid jujur, tiba-tiba dengan fenomena evaluasi nasional dipaksa tak jujur lagi. Bukannya guru yang mengevaluasi sebagai bagian tugasnya, tetapi justru, guru yang diawasi oleh pengawasn non guru bahkan mengambil/ mengantarkan soal saja, guru diawasi polisi. Jelas-jelas tak ada lagi kepercayaan kepada guru.
Dalam fenomena UN ini tak salah (semuanya) pada guru. Kalau pun ada yang salah itu pasti tidak banyak (kalau pun ada,yang salah, sanksi pun ada). Guru (2009) berjumlah 2.607.311 orang (PNS 1.579.381 dan Non PNS 1.027.930) mengalami nasib yang sama. Air mata jatuh ke perut, sedih dan menyedihkan, guru terjebak perangkap krisis kepercayaan, wibawa guru mengalami erosi dan bangkrut, martabat guru jatuh, karakter (kepribadian) guru dibuat luntur. “Malang nasibmu, guru!”, teriak nurani para pendidik murni. Karena bagaimanapun (dalam UU 14/2005) guru diharapkan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU 14/2005 Pasal 1 butir 1.). Kenyataannya terbalik, tugas evaluasi tidak lagi menjadi kewenanganya. Di mana lagi poisi guru sebagai faktor dominan menentukan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional berkarakter berwatak, berperadaban bangsa yang beriman dan bertaqwa sebagai proses melahirkan orang Indonesia seutuhnya? Kita semua comited mewujudkan tujuan pendidikan nasional itu. Semoga esok lebih baik. Dirgahayulah Pendidikan Nasional 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar